Memahami Makna Silaturahim
Pengertian arti Silaturahmi & Silaturahim
Menurut para ulama, silaturahmi berasal dari dua suku kata, yaitu silah dan rahmi.Silah artinya menyambungkan, sedangkan rahmi artinya rasa nyeri luar biasa yg dirasakan ibu-ibu sebelum melahirkan anaknya.
Makanya tidak heran kalau banyak orang saling menyakiti karena selama ini pun salah menggunakan istilah silaturahmi.
Menurut para ulama, yang benar adalah silaturahim.
Silah yang berarti menyambungkan dan rahim artinya kekerabatan.
Jadi silaturahim "menyambungkan kekerabatan ukhuwah diantara kita semua."
Motivasi untuk bersilaturrahim
Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah ta’ala,
“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ”.
Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.
Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas di atas. Antara lain:
Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahmi menjadikan seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat; sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan ia belum mati.
Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penganggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).
Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.
Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.
Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.
Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.
Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak menjaga tali persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.
“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.
Hakikat silaturrahim
Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
- Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
- Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
- Pemutus silaturrahim.
Sumber: google